Hukum
Perjanjian
STANDAR KONTRAK
s
s
Bila
dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku
atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak
baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1.
Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
a. Bidang-bidang
usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.Aturan baku
dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman,
melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara
bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
b. Penetapan,
perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada
persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara. Seseorang
yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau
menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu. Janji baku
dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui
pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui
isinya.
2.
Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT
(Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip
hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan
prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak
diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT
menentukan sebagai berikut:
Apabila salah satu pihak atau kedua
belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum
tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan
yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan
berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi
dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
·
Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
·
Pengertian kontrak baku.
3.
Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut
:
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan
standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan
tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya. Untuk
menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan
bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4.
Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu
pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar,
persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5.
Pasal 2.22, Jika kedua belah pihak menggunakan
persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk
beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan
perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar
yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah
menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada
pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak
tersebut.
6.
UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan.
7.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan
bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan
dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar
hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas
kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian
kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Macam-macam kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP
tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah
penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak
sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan
perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak
dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik,
kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur,
begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian
yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang
lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan
cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti
cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut
ialah :
Berkaitan dengan aturan resiko, pada
perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian
timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
Berkaitan dengan perjanjian syarat
batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian timbal balik
saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi
seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP.
Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan
perjanjian tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan
menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak
bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak
bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan
barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang,
perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah
kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini
belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam
kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim,
joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan
menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang
dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang
terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan,
kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus
dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang
dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau
dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan
lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan
dalam tulisan.
MACAM – MACAM PERJANJIAN
Macam-macam perjanjian obligator
ialah sebagai berikut:
1.
Perjanjian dengan cuma-Cuma dan perjanjian dengan
beban :
a. Perjanjian
dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu
keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
(Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
b. Perjanjian
dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu
keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya
sendiri.
2. Perjanjian
sepihak dan perjanjian timbal balik.
·
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana
hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
·
Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang
memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3.
Perjanjian konsensuil, formal dan riil.
ü Perjanjian
konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
ü Perjanjian
formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu,
yaitu dengan cara tertulis.
ü Perjanjian
riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus
diserahkan.
4.
Perjanjian bernama, tidak bernama, dan campuran.
o
Perjanjian bernama ialah suatu perjanjian dimana UU
telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai
bab XIII KUHerdata ditambah titel VIIA.
o
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak
diatur secara khusus.
o
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung
berbagai perjanjian yang sulit di kualifikasikan.
SYARAT
SAHNYA PERJANJIAN
Untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata:
a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
c.
Suatu hal tertentu
d.
Suatu sebab yang halal
Dua syarat yang pertama dinamakan
syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang
mengadakan perjanjian, sedanngkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat
obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari perbuatan
hukum yang dilakukan.
Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian:
1)
Orang-orang yang belum dewasa
2)
Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan
3)
Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan
oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian,
memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Menurut azas
konsensualitas, suatu pejanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau
persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang
menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak
antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah
juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi
secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Karena suatu
perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir
pada detik diterimanya penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim dianut
sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang
melakukan penawaran menerima jawaban yang termaksud dalam surat tersebut, sebab
saat itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya sepakat. Karena perjanjian
sudah dilahirkan maka tak daapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin
pihak lawan.
PEMBATALAN DAN PELAKSANAAN SUATU
PERJANJIAN
Pembatalaan Suatu Perjanjian
Apabila dalam suatu syarat
obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and
void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu
perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud
membuat perjanjian itu.
Apabila pada waktu pembuatan
perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyktif, maka perjanjian itu
bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya oleh salah
satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta
orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah cakap), dan pihak
yang memberikan perjanjian atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat
perjanjian tidak bebas, yaitu:
1.
Paksaan adalah
pemaksaan rohani atau jiwa, jadi bukan paksaan badan atau fisik. Misalnya salah
satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu
perjanjian.
2.
Kekhilafan atau Kekeliruan
terjadi
apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang
diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi
obyek dari perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian
itu.
3.
Penipuan terjadi
apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu
atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik, untuk membujuk pihak
lawannya memberikan perjanjiaannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara
aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan
diganti dulu merknya, nomor mesinnya dipalsu dan lain sebagainya.
Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain, atau di mana orang saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macam-macamnya hal yang
dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga
macam yaitu:
a.
Perjanjian untuk memberikan menyerahkan barang
b.
Perjanjian untuk bebuat sesuatu
c.
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
memberikan sekedar petunjuk, ialah persoalan apakah suatu perjanjian mungkin
dieksekusi (dilaksanakan) secara riil. Petunjuk itu kita dapatkan dalam
pasal-pasal 1240-1241.
Dalam hal penafsiran perjanjian ini
pedoman utama ialah: kata-kata suatu perjanjian jelas, maka tidaklah
diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
Pedoman-pedoman lain yang penting dalam menafsirkan
suatu perjanjian adalah:
1.
Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan
berbagai macam penafsiran, maka harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah
pihak yang membuat perjanjian itu dari pada memegang teguh arti kata-kata
menurut huruf.
2.
Jika sesuatu janji dapat diberikan dua macam
pengertian, maka harus dipilihnya pengertian yang sedemikian yang memungkinkan
janji itu dilaksanakan daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan
suatu pelaksanaan.
3.
Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian,
maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
4.
Apa yang meragukan harus ditafsirkan menurut apa yang
menjadi kebiasaan di negeri atau di tempat di mana perjanjian telah diadakan.
5.
Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama
lain, tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.
6.
Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus
ditafsirkan atas kerugian orang yang elah meminta diperjanjikannya sesuatu hal
dan, untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar