Jumat, 24 April 2015

pertumbuhan ekonomi inklusif dan penciptaan lapangan kerja



Pertumbuhan Ekonomi Belum Ciptakan Lapangan Kerja
Di tengah kelamnya kondisi perekonomian global lima tahun terakhir, Indonesia justru merupakan salah satu negara yang perekonomiannya kokoh menurut penilaian dunia internasional. Bagaimana tidak, ketika Amerika Serikat membukukan resesi berupa pertumbuhan ekonomi -2.4% pada 2009, Uni Eropa (27 negara) sekitar -4.5%, dan Singapura -1%, Indonesia masih mampu membukukan pertumbuhan ekonomi positif sekitar 4.6%. Peningkatan rating obligasi jangka panjang Indonesia menjadi Investment Grade pun dikantongi Indonesia pada 2011 mengikuti sentimen positif dunia atas kondisi perekonomian Indonesia tersebut. Suatu peristiwa yang patut disyukuri memang, tetapi apakah sudah layak dibanggakan?
Manakala fokus perhatian diletakkan pada pendapatan nasional, tentu pencapaian tersebut pantas dibanggakan. Tidak mudah mencapai pertumbuhan ekonomi positif di tengah perekonomian global yang tengah krisis. Namun, jika fokus perhatian diletakkan pada dampak peningkatan pendapatan pada penciptaan lapangan kerja, kesimpulannya akan berbeda karena pada lima tahun terakhir ini, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap penciptaan lapangan kerja justru menunjukkan tren penurunan.
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Penduduk Bekerja Indonesia (2007-2011)


Sumber: BPS, diolah penulis (2012)

Dari tabel di atas, terlihat bahwa terdapat deviasi kondisi pada 2007 dan 2011 di mana dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang hampir sama, penciptaan atau penyerapan tenaga kerja baru pada tahun 2011 jauh lebih rendah daripada tahun 2007. Jika dillihat dari angka elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi (employment elasticity on economic growth), maka angka elastisitas pada 2007 dan 2011 adalah 0.74 dan 0.21. Dengan demikian, 1% pertumbuhan ekonomi pada 2007 menghasilkan peningkatan tenaga kerja sebesar 0.74%; sementara pada 1% pertumbuhan ekonomi pada 2011 hanya menghasilkan 0.21%. Lantas apa yang terjadi pada kondisi makro ekonomi Indonesia? Mengapa kualitas pertumbuhan ekonomi, khususnya dalam hal penciptaan tenaga kerja, menurun?
Fenomena ini senada dengan yang telah diungkapkan oleh Gustav Papanek[1] yang mengungkapkan masalah tersembunyi dalam perekonomian Indonesia, yaitu terjadinya fenomena jobless growth. Dalam analisisnya, Papanek menjelaskan bahwa pertumbuhan tenaga kerja yang cenderung lambat disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan dari sisi permintaan. Ekonomi Indonesia dipandang tidak mampu lagi berkompetisi di sektor-sektor produksi padat karya. Selain karena Indonesia merupakan perekonomian yang berbiaya tinggi (high cost economy) –terkait masih buruknya kualitas infrastruktur, korupsi (ketidakpastian hukum), serta iklim investasi yang belum optimal—Papanek menerangkan bahwa menguatnya nilai tukar rupiah membuat biaya upah bagi investor asing menjadi terasa jauh lebih mahal, walaupun dalam nominal rupiah belum terjadi peningkatan upah minimum yang besar.
Adapun untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam mengenai kondisi ekonomi makro Indonesia yang tumbuh cukup agresif namun belum optimal dalam menciptakan lapangan pekerjaan, berikut adalah tabel pertumbuhan total produksi dan serapan tenaga kerja per sektor ekonomi.
Tabel 1. Pertumbuhan Produksi dan Tenaga Kerja per Sektor Ekonomi (2007 – 2011)


Sumber: BPS, diolah penulis (2012)

Dari sisi kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB), sektor ekonomi yang memberikan kontribusi terbesar adalah sektor industri pengolahan, disusul oleh sektor perdagangan, dan sektor pertanian dengan kontribusi masing-masing sekitar 34%, 24%, dan 17% (BPS, 2011); dengan kontribusi penyerapan tenaga kerja sebesar 15.2%, 24.5%, dan 41.2% (BPS, 2011). Sektor pertanian memang masih merupakan sektor ekonomi yang paling labor-intensive sampai pada tahun lalu, disusul sektor perdagangan dan sektor jasa yang menyerap 17.4% dari total tenaga kerja.
Ketiga sektor yang merupakan kontributor PDB tertinggi tersebut adalah merupakan kantong-kantong penyerap tenaga kerja terbesar (bersama dengan sektor jasa). Namun seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1 di atas, ketiga sektor kontributor PDB utama tersebut bukanlah merupakan sektor-sektor yang tumbuh pesat pada lima tahun terakhir, kecuali sektor perdagangan yang kembali tumbuh pesat pada 2010 dan 2011. Hal ini menunjukkan bahwa sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja bukanlah merupakan sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan pesat.
Selain itu Tabel 1 juga menunjukkan bahwa sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan produksi pesat –di antaranya sektor angkutan, pergudangan, dan komunikasi; perdagangan; dan keuangan—bukanlah sektor yang mencatatkan pertumbuhan tenaga kerja pesat. Hal ini menunjukkan bahwa mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia bukanlah merupakan mesin penciptaan tenaga kerja. Kasus paling mencolok terjadi pada sektor angkutan, pergudangan, dan komunikasi, yaitu sektor ekonomi yang tumbuh paling agresif pada lima tahun terakhir, namun malah mencatatkan pertumbuhan tenaga kerja yang negatif; menyiratkan terjadinya intensifikasi teknologi, untuk menggantikan tenaga manusia, pada industri tersebut.
Jadi, sudahkah pertumbuhan ekonomi Indonesia menciptakan pekerjaan? Jawabannya adalah, ya. Namun apakah pekerjaan atau lapangan kerja yang diciptakan sudah cukup optimal? Maka jawabannya adalah belum, khususnya melihat terjadinya penurunan pada tingkat pertumbuhan tenaga kerja per 1% pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam penciptaan pekerjaan masih belum baik. Indonesia tengah mengalami fenomena jobless growth, yang juga menyiratkan fenomena bahwa perekonomian Indonesia belum bersifat inklusif, dalam artian belum dapat dinikmati oleh sebanyak-banyaknya rakyat. Lantas apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan?
Pengelolaan ekonomi Indonesia telah lama terfokus pada nominal produksi atau pendapatan nasional (PDB) dan mengesampingkan elemen rakyat yang seharusnya menjadi penikmat dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Pengesampingan elemen rakyat kemudian membuat distribusi dari penambahan pendapatan nasional –yang terjadi akibat pertumbuhan ekonomi tersebut—bukan menjadi hal yang utama. Dalam konteks artikel ini, indikator (yang mewakili elemen rakyat) yang diamati adalah tingkat penciptaan tenaga kerja yang dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi. Struktur ketenagakerjaan Indonesia masih didominasi oleh sektor pertanian, yang sayangnya mencatatkan pertumbuhan produksi yang melambat pada empat tahun terakhir dan pertumbuhan tenaga kerja yang negatif pada dua tahun terakhir. Mungkin kondisi ini merupakan bentuk peringatan bagi bangsa untuk kembali kepada khitah kita selaku negara kepulauan yang kaya akan potensi pertanian dan perikanan. Sektor keuangan juga mencatatkan pertumbuhan tenaga kerja yang luar biasa pada 2011, yaitu sekitar 51.4%, hal ini ditengarai berhubungan dengan pesatnya perkembangan industri keuangan mikro yang ditandai dengan semakin banyaknya jumlah unit kredit mikro perbankan maupun koperasi-koperasi jasa keuangan. Mungkin ini juga pertanda bahwa kita harus mulai menyusun secara serius program revitalisasi sektor pertanian melalui dukungan keuangan mikro. (DM)


Top of Form
Bottom of Form
Program pengentasan kemiskinan sekarang ini terlalu menyederhanakan masalah sehingga sering dirancang hanya untuk “memberi sesuatu bagi si miskin.” Pendekatan ini hanya mampu mengatasi masalah dalam jangka pendek, namun tidak menjamin keberlanjutannya.
Pendekatan Inovasi untuk Pembangunan inklusif menawarkan keberlanjutan, karena direncanakan dan dilaksanakan bersama masyarakat, sehingga program  ini sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pendekatan inilah yang menginisiasi Dewan Riset (Research Councils) negara ASEAN untuk berkumpul membahas lebih lanjut penerapan keterlibatan masyarakat  dalam proses pembangunan di Jakarta, 6 September 2012 dalam Workshop Inovasi untuk Pembangunan Inklusif.
Ketua Komisi Teknik Sosial Humaniora  Dewan Riset Nasional (DRN), Lala M Kolopaking  memaparkan,” Inovasi teknologi sebenarnya telah banyak ditemukan di masyarakat, namun kadang kala teknologi tersebut tidak bernilai ekonomis sehingga tidak menarik minat industri untuk berinvestasi. “
Lebih lanjut, Lala menjelaskan,” Sedangkan teknologi yang dikembangkan oleh industri seakan terkesan high tech dan tidak user friendly, sehingga masyarakat kesulitan menerapkan di kehidupan sehari-hari,” Alasan lain adalah teknologi pabrikan kurang memperhatikan faktor budaya, pola pikir dan kehidupan masyarakat kebanyakan.”
DRN menilai perlunya untuk mengurangi gap kesenjangan teknologi antara kebutuhan masyarakat dan industri. Lala M Kolopaking yang juga sebagai Direktur Center of Agriculture and Rural Development, IPB, memaparkan,” DRN sekarang ini lebih banyak menggali kebutuhan teknologi di daerah melalui Dewan Riset  Daerah yang bekerjasama dengan Pemerintah daerah setempat.”
DRN berkeyakinan suatu saat nantinya industri besar akan mengurangi biaya produksi dan mulai mencari teknologi tepat guna yang berbasis kebutuhan masyarakat. Dalam jangka panjang,  tujuan pembangunan inklusif tercapai .
Pembangunan Inklusif yang menekankan penciptaan lapangan kerja , memberi akses sosial dan ekonomi bagi segenap warga dan terus menerus mengurangi kemiskinan melalui penyediaan peluang bagi masyarakat yang rentan dan terpinggirkan untuk berkontribusi dalam proses pembangunan dan dalam menikmati hasil-hasilnya. (ap)

Sumber :