Pertumbuhan Ekonomi Belum Ciptakan Lapangan Kerja
Di tengah kelamnya kondisi
perekonomian global lima tahun terakhir, Indonesia justru merupakan salah satu
negara yang perekonomiannya kokoh menurut penilaian dunia internasional.
Bagaimana tidak, ketika Amerika Serikat membukukan resesi berupa pertumbuhan
ekonomi -2.4% pada 2009, Uni Eropa (27 negara) sekitar -4.5%, dan Singapura
-1%, Indonesia masih mampu membukukan pertumbuhan ekonomi positif sekitar 4.6%.
Peningkatan rating obligasi jangka panjang Indonesia menjadi Investment
Grade pun dikantongi Indonesia pada 2011 mengikuti sentimen positif dunia
atas kondisi perekonomian Indonesia tersebut. Suatu peristiwa yang patut
disyukuri memang, tetapi apakah sudah layak dibanggakan?
Manakala fokus perhatian diletakkan
pada pendapatan nasional, tentu pencapaian tersebut pantas dibanggakan. Tidak
mudah mencapai pertumbuhan ekonomi positif di tengah perekonomian global yang
tengah krisis. Namun, jika fokus perhatian diletakkan pada dampak peningkatan
pendapatan pada penciptaan lapangan kerja, kesimpulannya akan berbeda karena
pada lima tahun terakhir ini, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap
penciptaan lapangan kerja justru menunjukkan tren penurunan.
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi dan
Penduduk Bekerja Indonesia (2007-2011)
Sumber: BPS, diolah penulis (2012)
Dari tabel di atas, terlihat bahwa
terdapat deviasi kondisi pada 2007 dan 2011 di mana dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang hampir sama, penciptaan atau penyerapan tenaga kerja baru pada tahun 2011
jauh lebih rendah daripada tahun 2007. Jika dillihat dari angka elastisitas
penyerapan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi (employment elasticity
on economic growth), maka angka elastisitas pada 2007 dan 2011 adalah 0.74
dan 0.21. Dengan demikian, 1% pertumbuhan ekonomi pada 2007 menghasilkan
peningkatan tenaga kerja sebesar 0.74%; sementara pada 1% pertumbuhan ekonomi
pada 2011 hanya menghasilkan 0.21%. Lantas apa yang terjadi pada kondisi makro
ekonomi Indonesia? Mengapa kualitas pertumbuhan ekonomi, khususnya dalam hal
penciptaan tenaga kerja, menurun?
Fenomena ini senada dengan yang
telah diungkapkan oleh Gustav Papanek[1] yang mengungkapkan masalah tersembunyi
dalam perekonomian Indonesia, yaitu terjadinya fenomena jobless growth. Dalam
analisisnya, Papanek menjelaskan bahwa pertumbuhan tenaga kerja yang cenderung
lambat disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan dari sisi permintaan. Ekonomi
Indonesia dipandang tidak mampu lagi berkompetisi di sektor-sektor produksi
padat karya. Selain karena Indonesia merupakan perekonomian yang berbiaya
tinggi (high cost economy) –terkait masih buruknya kualitas infrastruktur,
korupsi (ketidakpastian hukum), serta iklim investasi yang belum
optimal—Papanek menerangkan bahwa menguatnya nilai tukar rupiah membuat biaya
upah bagi investor asing menjadi terasa jauh lebih mahal, walaupun dalam
nominal rupiah belum terjadi peningkatan upah minimum yang besar.
Adapun untuk mendapatkan pemahaman
lebih mendalam mengenai kondisi ekonomi makro Indonesia yang tumbuh cukup
agresif namun belum optimal dalam menciptakan lapangan pekerjaan, berikut
adalah tabel pertumbuhan total produksi dan serapan tenaga kerja per sektor
ekonomi.
Tabel 1. Pertumbuhan Produksi dan
Tenaga Kerja per Sektor Ekonomi (2007 – 2011)
Sumber: BPS, diolah penulis (2012)
Dari sisi kontribusi terhadap
Pendapatan Domestik Bruto (PDB), sektor ekonomi yang memberikan kontribusi
terbesar adalah sektor industri pengolahan, disusul oleh sektor perdagangan,
dan sektor pertanian dengan kontribusi masing-masing sekitar 34%, 24%, dan 17%
(BPS, 2011); dengan kontribusi penyerapan tenaga kerja sebesar 15.2%, 24.5%,
dan 41.2% (BPS, 2011). Sektor pertanian memang masih merupakan sektor ekonomi
yang paling labor-intensive sampai pada tahun lalu, disusul sektor
perdagangan dan sektor jasa yang menyerap 17.4% dari total tenaga kerja.
Ketiga sektor yang merupakan
kontributor PDB tertinggi tersebut adalah merupakan kantong-kantong penyerap tenaga
kerja terbesar (bersama dengan sektor jasa). Namun seperti yang dapat dilihat
pada Tabel 1 di atas, ketiga sektor kontributor PDB utama tersebut bukanlah
merupakan sektor-sektor yang tumbuh pesat pada lima tahun terakhir, kecuali
sektor perdagangan yang kembali tumbuh pesat pada 2010 dan 2011. Hal ini
menunjukkan bahwa sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja bukanlah
merupakan sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan pesat.
Selain itu Tabel 1 juga menunjukkan
bahwa sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan produksi pesat –di antaranya
sektor angkutan, pergudangan, dan komunikasi; perdagangan; dan
keuangan—bukanlah sektor yang mencatatkan pertumbuhan tenaga kerja pesat. Hal
ini menunjukkan bahwa mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia bukanlah merupakan
mesin penciptaan tenaga kerja. Kasus paling mencolok terjadi pada sektor
angkutan, pergudangan, dan komunikasi, yaitu sektor ekonomi yang tumbuh paling
agresif pada lima tahun terakhir, namun malah mencatatkan pertumbuhan tenaga
kerja yang negatif; menyiratkan terjadinya intensifikasi teknologi, untuk
menggantikan tenaga manusia, pada industri tersebut.
Jadi, sudahkah pertumbuhan ekonomi
Indonesia menciptakan pekerjaan? Jawabannya adalah, ya. Namun apakah pekerjaan
atau lapangan kerja yang diciptakan sudah cukup optimal? Maka jawabannya adalah
belum, khususnya melihat terjadinya penurunan pada tingkat pertumbuhan tenaga
kerja per 1% pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan
bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam penciptaan pekerjaan masih
belum baik. Indonesia tengah mengalami fenomena jobless growth, yang
juga menyiratkan fenomena bahwa perekonomian Indonesia belum bersifat inklusif,
dalam artian belum dapat dinikmati oleh sebanyak-banyaknya rakyat. Lantas apa
yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan?
Pengelolaan ekonomi Indonesia telah
lama terfokus pada nominal produksi atau pendapatan nasional (PDB) dan
mengesampingkan elemen rakyat yang seharusnya menjadi penikmat dari pertumbuhan
ekonomi tersebut. Pengesampingan elemen rakyat kemudian membuat distribusi dari
penambahan pendapatan nasional –yang terjadi akibat pertumbuhan ekonomi
tersebut—bukan menjadi hal yang utama. Dalam konteks artikel ini, indikator
(yang mewakili elemen rakyat) yang diamati adalah tingkat penciptaan tenaga
kerja yang dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi. Struktur ketenagakerjaan
Indonesia masih didominasi oleh sektor pertanian, yang sayangnya mencatatkan
pertumbuhan produksi yang melambat pada empat tahun terakhir dan pertumbuhan
tenaga kerja yang negatif pada dua tahun terakhir. Mungkin kondisi ini
merupakan bentuk peringatan bagi bangsa untuk kembali kepada khitah kita selaku
negara kepulauan yang kaya akan potensi pertanian dan perikanan. Sektor
keuangan juga mencatatkan pertumbuhan tenaga kerja yang luar biasa pada 2011,
yaitu sekitar 51.4%, hal ini ditengarai berhubungan dengan pesatnya
perkembangan industri keuangan mikro yang ditandai dengan semakin banyaknya
jumlah unit kredit mikro perbankan maupun koperasi-koperasi jasa keuangan. Mungkin
ini juga pertanda bahwa kita harus mulai menyusun secara serius program
revitalisasi sektor pertanian melalui dukungan keuangan mikro. (DM)
Program pengentasan kemiskinan
sekarang ini terlalu menyederhanakan masalah sehingga sering dirancang hanya
untuk “memberi sesuatu bagi si miskin.” Pendekatan ini hanya mampu mengatasi
masalah dalam jangka pendek, namun tidak menjamin keberlanjutannya.
Pendekatan Inovasi untuk Pembangunan
inklusif menawarkan keberlanjutan, karena direncanakan dan dilaksanakan bersama
masyarakat, sehingga program ini sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pendekatan inilah yang menginisiasi Dewan Riset (Research Councils) negara ASEAN
untuk berkumpul membahas lebih lanjut penerapan keterlibatan masyarakat
dalam proses pembangunan di Jakarta, 6 September 2012 dalam Workshop Inovasi
untuk Pembangunan Inklusif.
Ketua Komisi Teknik Sosial
Humaniora Dewan Riset Nasional (DRN), Lala M Kolopaking
memaparkan,” Inovasi teknologi sebenarnya telah banyak ditemukan di masyarakat,
namun kadang kala teknologi tersebut tidak bernilai ekonomis sehingga tidak
menarik minat industri untuk berinvestasi. “
Lebih lanjut, Lala menjelaskan,”
Sedangkan teknologi yang dikembangkan oleh industri seakan terkesan high tech
dan tidak user friendly, sehingga masyarakat kesulitan menerapkan di kehidupan
sehari-hari,” Alasan lain adalah teknologi pabrikan kurang memperhatikan faktor
budaya, pola pikir dan kehidupan masyarakat kebanyakan.”
DRN menilai perlunya untuk
mengurangi gap kesenjangan teknologi antara kebutuhan masyarakat dan industri.
Lala M Kolopaking yang juga sebagai Direktur Center of Agriculture and Rural
Development, IPB, memaparkan,” DRN sekarang ini lebih banyak menggali kebutuhan
teknologi di daerah melalui Dewan Riset Daerah yang bekerjasama dengan
Pemerintah daerah setempat.”
DRN berkeyakinan suatu saat nantinya industri besar
akan mengurangi biaya produksi dan mulai mencari teknologi tepat guna yang
berbasis kebutuhan masyarakat. Dalam jangka panjang, tujuan pembangunan
inklusif tercapai .
Pembangunan Inklusif yang menekankan
penciptaan lapangan kerja , memberi akses sosial dan ekonomi bagi segenap warga
dan terus menerus mengurangi kemiskinan melalui penyediaan peluang bagi
masyarakat yang rentan dan terpinggirkan untuk berkontribusi dalam proses
pembangunan dan dalam menikmati hasil-hasilnya. (ap)
Sumber :